Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) harus benar-benar memikirkan kembali niatnya berkoalisi dengan pemerintahan SBY. Sebab, jika tetap bergabung, PDIP harus siap kehilangan eksistensinya sebagai partai besar yang akarnya sudah dibangun sejak lahirnya Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927.
Demikian disampaikan pengamat politik dari LP3ES Fachry Ali di sela-sela diskusi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/9/2009).
"Kalau sudah masuk, PDIP itu bukan PDIP lagi. Tidak bisa dikenali lagi. Ini awal kehancuran yang lebih drastis," kata Fachry.
Menurut Fachry, sikap politik PDIP yang selama ini menjadi oposisi menjadi nilai penting bagi eksistensinya. Sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat secara otomatis mendekatkan moncong putih dengan wong cilik. "Karena rakyat memerlukan energi untuk survive," cetusnya.
Oleh karena itu, Fachry menyarankan PDIP tetap pada jalur oposisi. Kalaupun ada beberapa elit PDIP yang tergiur kekuasaan, Megawat Soekarnoputri sebagai ketua umum harus bertindak tegas.
Apalagi keputusan Rakernas VI PDIP juga telah menyerahkan sepenuhnya sikap politik partai ke depan kepada putri Bung Karno tersebut.
"Mega harus ngotot, karena didukung arus bawah. Loyalitas orang itu pada Ibu Mega, bukan Pak Taufiq Kiemas," pungkasnya.